Sore
menjelang maghrib beberapa hari lalu, istriku terlihat resah. Beberapa
kali mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Raut wajahnya tampak kalut.
Karena penasaran, saya pun bertanya kepadanya. “Ada apa toh umi. Dari
tadi ko terlihat bingung?”.
“Anu, Abi.
Beras di dapur sudah habis. Bingung besok enggak ada yang dimasak,”
jawabnya sambil menunjukkan karung beras yang sudah kosong melompong.
Kekhawatiran
istriku bisa dimaklumi. Pasalnya, jika besok tidak ada beras yang
dimasak, maka tiga belas anak yayasan yang kami asuh terancam bakal
tidak makan. Itu berarti, mereka akan berangkat sekolah dengan perut
kosong.
“Umi tenang
saja, ya. Meski beras sudah tidak ada, tapi kita masih punya satu malam
untuk shalat tahajud dan meminta kepada Allah,” kataku menenangkan
dengan penuh kenyakinan.
“Iya abi, umi
yakin. Semoga saja Allah yang Maha Pemberi rezeki berkenan membantu
kita,” harapnya meski kekalutan masih tergambar di wajahnya.
Malam
harinya, pukul 2.30 dini hari saya dan istri bangun. Sekitar sepuluh
menit berwudhu dan memakai pakaian shalat. Setelah itu membangunkan
anak-anak yang sedang tidur pulas. Cukup sulit juga membuat mata mereka
melek. Meski sudah dipukul pelan dengan sajadah dan kata-kata “Shalatul
lail” berulang kali, tetap saja mereka tidak bangun-bangun.
Parahnya lagi, bila ada yang sudah bangun, tak
jarang yang tidur lagi. Cukup lama memang agar mau membuka mata mereka
melek dan langsung mengambil air wudhu. Mungkin karena masih kecil-kecil
jadi sulit dibangunkan. Tapi, setelah sekitar 15 menit dan beberapa
kali dibangunkan, akhirnya mereka pun semua bangun.
Sembari
menunggu mereka siap-siap, saya dan istri shalat lebih dulu. Biasanya,
mereka akan menyusul shalat. Dalam suasana syahdu di sepertiga malam itu
saya pun berdoa dan memohon kepada Allah SWT. Kedua tangan
kutengadahkan ke langit. Istri dan anak-anak mengamini meski dengan mata
merem-melek menahan kantuk.
“Ya Allah,
Engkau Maha Kaya. Berilah rezeki yang halal dan berkah untuk kami ya
Allah. Kami tidak memiliki apa-apa kecuali dari-Mu. Jika ia ada di
langit, turunkanlah, jika di bumi keluarkanlah, jika kotor sucikanlah.
Terdengar suara amin para santri. Air mataku meleleh.
Subhanallah.
Pagi sekitar pukul 10.00 tiba-tiba datang seseorang perempuan membawa
empat karung beras. Entah tahu dari mana, tapi kata perempuan itu ia
sengaja mencari yayasan di daerah itu, Sidoarjo, Jawa Timur. Yayasan
kecil kami terletak jauh di dalam gang. Tak banyak orang tahu. Selain
itu, di sekitar juga banyak yayasan lain jauh lebih besar dan terkenal.
Saya yakin, ia dikirim oleh Allah. Dan saya yakin, itu jawaban atas doa anak-anak yayasan semalam.
“Subhanallah, ternyata betul ya Abi. Allah pagi ini buktikan janji-Nya,” kata istri setelah mengantar dermawan itu pulang.
Sejak itu,
saya dan istri makin yakin kekuatan shalat malam. Shalat malam bisa
menjadi senjata untuk mengundang pertolongan Allah setiap saat dan dalam
kondisi apapun.
Sejak saat
itu pula, saya, istri dan seluruh penghuni yayasan melakukan shalat
tahahud tiap malam. Dan ternyata, hingga kini Allah selalu mencukupi
kebutuhan kami. Kami tidak pernah kelaparan. Pertolongan seperti itu
juga sering kami alami.
Pernah suatu
saat, tiba-tiba seseorang datang jauh-jauh dari Malang. Kata lelaki yang
memiliki salon itu, ia bermimpi disuruh untuk memberikan sedekah ke
sebuah yayasan di daerah tersebut.
Ciri-ciri
yayasan itu, katanya kecil dan ustadz pemangkunya berbadan kurus. Maka,
dicarilah yayasan yang dimaksud dalam mimpinya itu. Tapi, sudah
dicari-cari tak jua ketemu. Ketika menemui yayasan kami, yakinlah orang
tersebut jika yayasan itu yang ada dalam mimpinya.
“Iya, ini
pesantrennya yang ada dalam mimpi saya,” katanya. Meski berkali-kali
saya pertanyakan jangan-jangan bukan yayasan ini yang dimaksud, tapi ia
tetap bergeming. Ia pun memberi uang Rp 2 juta rupiah.
Tidak hanya
itu. Pernah juga ada kejadian serupa. Ceritanya, ada seseorang nyasar
yang ingin memberi bantuan. Ia sebenarnya ingin memberi sedekah ke
yayasan lain. Tapi, entah kenapa, ia justru datang ke yayasan kami. Saya
pun menjelaskan jika yayasan ini bukan yang ia maksud dan memintanya
agar menyalurkan sedekahnya ke yayasan semula.
Tapi, meski
sudah berkali-kali dibujuk, ia tetap saja bersikukuh. “Sudah, sedekah
ini saya berikan untuk yayasan ini saja,” paparnya. Karena tak bisa
menolak, sedekahnya pun kami terima. Dalam hati saya berucap dengan sedikit bergurau: “Ternyata, malaikat pinter juga ya mengalihkan orang berbuat baik.”
Saya sendiri
sudah beberapa tahun menjadi pengasuh di yayasan Islam di Sidoarjo milik
salah satu ormas Islam. Yayasan itu belum terlalu besar. Gedungnya saja
masih milik orang lain, hanya disuruh menempati saja. Ada tiga belas
anak yang masih sekolah, dari bangku SD hingga SMA. Mereka dari berbagai
daerah, ada dari Sidoarjo sendiri, Balikpapan, Madura, Semarang,
Surabaya, dan deerah lainnya.
Seperti
yayasan pada umumnya, pembiayaan gratis dan berasal dari umat Islam.
Tapi, kendati demikian, saya tak pernah khawatir Allah telantarkan kami.
Karena itu, agar Allah tak pernah sepi menolong, maka tiap malam kami
harus sering meminta dan menagih janji-Nya. Seperti diceritakan Maryadi kepada Hidayatullah.com
Sumber : Hidayatulloh.com
No comments:
Post a Comment